25 November 2008

Ideal Teacher In My Mind

Gelar sempurna dan ideal layaknya tak pantas diberikan pada seluruh makhluk di alam semesta beserta isinya ini, bahkan untuk seorang guru sekalipun. Hanya satu yang pantas menyandang gelar itu, Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa. Tapi, manusia berhak menilai setiap apa yang telah ia dapat dalam hidup ini. Hanya menilai setip apa yang dianggapnya cocok dan nyaman, apalagi untuk seorang siswa seperti saya.
Di Indonesia telah dicanankan wajib belajar 9 tahun, yang terangkum dalam UU……………… Dalam waktu yang terbilang cukup lama itu, sulit rasanya menemukan sesosok pahlawan tanpa tanda jasa yang dapat melekat dalam hati sanubari.
Namun, saat beranjak ke jenjang SMA saya menemukan sesosok pahlawan yang dapat memberi semangat baru dalam perjalanan saya menuntut ilmu. Sosok itu dapat mengukir ilmu disetiap otak para siswa, memberi cahaya disetiap sel-sel otak yang kosong akan ilmunya. Sosok guru ideal dimata saya adalah guru mata pelajaran Bahasa Jepang di SMAN 2 Bojonegoro,tempat saya menuntut ilmu saat ini.
Seorang ahli bernama Gordon Stokes mengatakan “Delapan puluh persen kesulitan belajar berhubungan dengan stres. Singkirkan stres, maka Anda telah menyingkirkan berbagai kesulitan dalam belajar.” Pada awalnya hal itulah yang membuat banyak siswa, termasuk saya merasa malas belajar bahasa jepang yang terlihat cukup rumit. Tetapi pada awal pertemuan, guru faforit saya itu mengenalkan ilmunya dengan menceritakan hal-hal yang cukup menarik dan imajinatif, sehingga seluruh siswa dapat mengkhayal hal-hal yang menyenangkan dalam pelajaran yang beliau ajarkan.
Metode pembelajaran yang disuguhkan cukup sederhana namun sangat kreatif dan atraktif. Beliau mampu membius seisi otak para murid yang diajarnya sehingga siswa mampu merespon dengan baik. Bahkan metode pembelajarannya mirip dengan belajar di masa TK, yaitu dengan gambar-gambar. Beliau memberikan gambar-gambar yang berhubungan dengan materi hari itu, kemudian dihafalkan dalam bahasa jepang secara bersama-sama cukup 2-5 kali ucapan. Hal itu ternyata tidak banyak menyulitkan banyak siswa, bahkan malah mempermudah siswa untuk cepat menghafal.
Bisa dibayangkan, setiap jam belajarnya berlangsung, beliau selalu memberika pertanyaan-pertanyaan bahasa jepang. Pertanyaannya berupa
gambar, lisan, dan bisa juga gerak tubuh. Pertannyaan tersebut tidak hanya ditujukan oleh siswa-siswa tertentu, tapi dengan cara di drill pada semua siswa, tidak terkecuali.
Setiap jam belajarnya, Beliau memberi nilai plus pada setiap siswa yang berani menjawab pertanyaan, semakin mendapat banyak nilai plus akan ada hadiah menarik dari beliau. Tidak hanya pada saat itu saja, saat ulangan pun jika ada yang berhasil mendapatkan nilai sempurna beliau juga memberikan hadiah menarik. Itu semua kenangkenangan buat para siswa yang rajin, namun siswa yang malas juga tak luput dari hukumannya. Nilai min dan hukuman berdiri selama dapat menjawab pertannyaan-pertanyaan bahasa Jepang beliau berikan untuk si malas.
Jadi, dalam pembelajarannya semua indra bekerja, tidak akan ada kata mengantuk justru yang ada hanya tegang dan cemas jika sewaktu-waktu akan ditunjuk, siswa selalu diajak untuk bersaing secara sehat untuk mendapatkan banyak nilai plus dan nilai sempurna, dan juga menuntut siswa untuk belajar setiap hari. Tak urung hampir 80% beliau berhasil membuat siswa-siswanya mendapatkan nilai antara 90-100. Tidak hanya itu, seorang trouble makker atau siswa yang terbilang malas dan cuek pun dapat tunduk dihadapannya. Hal itu dapat dibuktikan pada seorang teman sekelas saya yang cuek dengan guru dan pelajaran dan terbilang malas belajar. Akan ada ulangan pun dia tak pernah menyentuh buku. Namun, pemandangan berbeda saya temui saat jam pelajaran bahasa jepang akan dimulai. Seorang siswa yang malas itu berubah menjadi seorang yang rajin menghafalkan kata-kata bahasa jepang. Menurut saya itulah sebuah keberhasilan yang sangat jarang ditemui, keberhasilan dari pengajaran yang tegas tapi mengasyikkan. Pernah terbersit dalam benak saya jika seluruh guru di Indonesia bertindak seperti beliau, mungkin anak-anak Indobesia dapat menjadi siswa yang unggul dalam segala hal.
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk menjadi guru yang maju dan profesional, seperti sosok guru ideal yang saya ceritakan diatas. Sekiranya guru dapat menyenangkan siswanya sesuai kata ilmuan Peter Kline “Learning is most effective when it’s fun”. Selain itu, seorang guru harus sadar dan faham akan tugas-tugasnya sebagai pendidik. Yang kedua sosok pahlawan dunia-akhirat harus bisa mengabdi pada masyarakat dan Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai pelengkap seorang guru setidaknya mampu membuat portofolio (dokumen prestasi) yang berhubungan dengan prestasinya maupun pengalamannya dalam menjalankan tugas.
Kadang, seorang guru dapat saja menjatuhkan siswanya. Dalam perjalanan saya dalam menuntut ilmu, tidak jarang saya jumpai guru-guru yang memanipulasi nilai. Memberikan nilai-nilai pada siswa-siswa tertentu yang memberi keuntungan padanya. Misalnya menuntut siswa untuk Les ditempatnya dengan bayaran sekian dan dengan iming-iming nilai bagus. Sekali lagi, di Indonesia selalu bermain dengan nilai. Padahal, nilai bukan suatu hal paten yang dapat menentukan pintar atau tidaknya siswa. Jika nilai itu didapat dari penilaian kelas menurut saya itu lebih murni dari pada nilai ulangan harian, UAS, UN dan sebagainya yang dapat dimanipulasi, digandakan, didapat dari mencontek, dan masih banyak lagi sumber-sumber dari nilai itu didapat. Bahkan bisa-bisa seorang guru dapat tertipu dengan nilai.
Dapat langsung diambil kesimpulan bahwa seorang guru tidak boleh memihak atau mendiskriminasikan salah seorang siswanya. Guru harus mampu bersikap adil dan bijaksana dalam menentukan penyelesaian, mampu mendorong siswa hingga menemukan jalan yang terang dalam menyelesaikan masalahnya, dapat berusaha semaksimal mungkin untuk dapat menjadikan siswa paham, dapat meminutes waktu sehingga kepentingan pribadi hampir seimbang dengan kepentingan pekerjaan masalah-masalah pribadi antara guru dengan siswa pun harus di pendam, dan tidak ada diskriminasi terhadap siswa untuk memberi keuntungan untuk guru yang bersangkutan. Sesuai dengan kata Doktrin Mazhab Konstruktivisme bahwa “Pengetahuan itu tidak dapat ditransfer sebagaimana air dari teko dituangkan ke cangkir. Pengetahuan harus dibangun sendiri oleh murid. Murid bukan cangkir, melainkan tetanaman. Guru bukan teko, melainkan penyiram air yang membuat tetanaman itu tumbuh berkembang”. “Belajar harus mampu mengubah diri pembelajar menjadi diri yang lain dan baru. Jika pembelajaran tidak mampu mengubah diri pembelajar, maka pembelajaran itu sia-sia” ungkap Dave Meier, Accelerated Learning.(sha)

0 komentar: